Pesona Tanjungpinang di Majalah Garuda Indonesia - Colours Magazine
pic from http://colours-indonesia.com |
Akhirnya tulisan saya nembus majalah
Garuda Indonesia - Colours Magazine edisi Agustus 2017. Sempat bingung nyari
majalahnya, akhirnya dikirimin versi pdf via email. Saya tulis lagi di blog,
tulisan asli sebelum diedit editor. Oh ya, untuk foto fotonya itu bukan koleksi saya tapi dari kontrobutor majalah ini sepertinya.
pic from http://colours-indonesia.com |
Keindahan Tepi
Laut
Setelah menunggu 30 menit akibat cuaca tidak
bersahabat, pesawat yang membawa teman saya dari Jakarta mendarat juga dengan
mulus di Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang. Sejumlah sopir taksi menawarkan
jasa mereka, namun karena sudah menyewa mobil lain berikut sopir kami
menolaknya. Kami langsung meluncur ke pusat Kota yang berjarak 12 km atau 30
menit perjalanan untuk check in di hotel dan menaruh barang.
pic from http://colours-indonesia.com |
Cuaca siang itu mulai cerah. Dari hotel kami menuju
kawasan tepi laut yang berjarak kurang lebih 500 meter. Persis di depan pintu
Pelabuhan Sri Bintan Pura, ada Gedung Daerah yang merupakan rumah dinas
Gubernur Kepulauan Riau dan tempat menerima tamu resmi daerah. Gedung dengan
gaya victorian itu adalah peninggalan residen Belanda pada awal tahun 1880.
Teman saya minta turun untuk berfoto di sana.
Teman saya menunjuk ke arah laut dan bertanya tentang
pulau yang ada di depan Pelabuhan Sri Bintan Pura. Saya menjawab itu adalah
Pulau Penyengat, pulau bersejarah dan besok akan mengajak dia ke sana.
Tidak jauh dari Gedung Daerah tampak gedung berbentuk
keong dan disebut Gedung Gonggong. Gonggong adalah hewan laut sejenis keong
laut yang banyak terdapat di Kota Tanjungpinang. Gedung ini merupakan
Tanjungpinang Information Centre (TIC).
Gedung ini berdiri di area taman yang sengaja dibuat
untuk bersantai dan rekreasi masyarakat yang disebut Laman Taman Boenda. Pada
sore hari hingga malam hari dan akhir pekan tempat ini selalu ramai dengan pengunjung
yang membawa keluarga untuk menikmati suasana tepi laut, membawa anak bermain
serta berolahraga.
Di sekitarnya tepi laut ini terdapat sejumlah pujasera
atau akau yang buka dari sore hingga malam hari. Pengunjung bisa bersantai
sambil menikmati aneka kuliner yang memanjakan lidah.
pic from http://colours-indonesia.com |
Kami terus melanjutkan perjalanan 500 meter ke arah
selatan atau daerah Teluk Keriting dan turun di sebuah taman yang ada tugu
berbentuk pensil. Tugu setinggi kurang lebih 20 meter itu berada di sebuah
taman di tepi laut. Tugu Pensil nama tugu tersebut yang sengaja dibangun pada
tahun 1962 sebagai simbol pembebasan masyarakat Tanjungpinang dari buta huruf.
Di Taman Tugu Pensil ini lebih adem dari Laman Taman
Boenda karena banyak terdapat pepohonan besar. Hal ini mengingat keberadaan taman ini sudah
ada sejak puluhan tahun lalu. Ada sejumlah fasilitas olahraga untuk umum juga
di sini. Dari taman ini juga lebih bebas memandang ke laut dan kampung nelayan
yang berada di sisi kirinya. Di depan taman ini juga tersedia sejumlah tempat
makan dengan gaya kekinian dan menjadi tempat santai warga.
Pantai Tanjung
Siambang
Hari makin sore dan teman saya ingin melihat sunset
yang indah. Meski dari Taman Tugu Pensil bisa melihat sunset namun tempat yang
paling pas adalah di Pantai Tanjungsiambang, Dompak.
Pulau Dompak adalah pulau kecil yang berada di
Kecamatan Bukit Bestari. Pulau ini merupakan pusat pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau. Menuju ke pulau ini melalui sebuah jembatan dengan jarak tempuh
sekitar 10 menit.
Sore hari banyak masyarakat Tanjungpinang yang
melintasi jembatan ini untuk bersantai di Pulau Dompak sambil melihat view ke
arah Kota Tanjungpinang. Salah satu tempat favorit masyarakat bersantai adalah
kawasan Mesjid Raya Dompak. Di sini pengunjung bisa melihat Kota Tanjungpinang ke
berbagai sudut serta sunset.
pic from http://colours-indonesia.com |
Pantai Tanjungsiambang berada tidak jauh dari komplek
perkantoran gubernur. Sekitar lima menit kami sampai di pantai tersebut. Pantai
ini tidak terlalu panjang namun pasirnya lumayan putih dan air laut sedang
pasang.
Ada dermaga panjang yang dulunya tempat masyarakat
lokal hendak pergi dan datang ke Kota Tanjungpinang menggunakan perahu atau
pompong. Sebelum dijadikannya Pulau Dompak sebagai pusat pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau, transportasi yang cepat hanya melalui laut karena jalan raya
dan jembatan penghubung belum ada.
Di depan pantai ini ada pulau kecil yang tidak
berpenghuni, Pulau Basing. Pulau itu
baru saja dijadikan destinasi wisata baru dan sementara baru ada angkutan pada
Sabtu dan Minggu. Dengan Pompong rute terakhir kami menumpang ke pulau yang
konon tempat pengasingan seorang raja pada zaman dulu.
Sekitar lima menit, sampai di pulau tersebut. Pantai
itu landai dan pasirnya lumayan putih dan bersih serta airnya jernih. Pulau
seluas lebih kurang dua hektar itu dibuka hanya sekitar 100 meter persegi. Di
sana terdapat benteng dan penjara yang diduga dulu tempat pengasingan.
Mentari mulai tenggelam dan kami bergegas kembali ke
Pantai Tanjungsiambang. Langit mulai kemerahan dan sunset yang ditunggu tunggu
mulai menampakan pesonanya. Dari dermaga itu kami mengabadikan seadanya dengan
kamera smartphone.
Malam menjelang dan saatnya berburu kuliner. Tempat
yang paling tepat adalah akau atau pujasera. Saya mengajak teman ke Akau Potong
lembu yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Beraneka ragam makanan
dijual di sini dari seafood hingga masakan khas Melayu. Selain sebagai tempat
makan, akau bagi masyarakat lokal adalah tempat berkumpul dan bertemu dengan
rekan sejawat dan bersilaturahim.
Pulau Penyengat
pic from http://colours-indonesia.com |
Berada di Kota Tanjungpinang belum lengkap jika tidak
berkunjung ke Pulau Penyengat. Sebuah pulau yang sangat bersejarah dan banyak
terdapat peninggalan cagar budaya yang erat kaitannya dengan perjalanan sejarah
Kerajaan Riau. Pulau yang berstatus kelurahan- Kelurahan Penyengat- berada
tepat di depan Pelabuhan Sri Bintan Pura. Akses ke sana menggunakan Pompong
sekitar 15 menit dan pelabuhannya persis di sebelah Pelabuhan Sri Bintan Pura
namun gerbangnya berada di Jalan Pos. Setiap 15 menit hingga 30 menit selalu
ada Pompong yang berangkat membawa penumpang.
Sesampainya di pulau itu, kami langsung menuju Mesjid
Raya Sultan Riau yang terletak di ujung pelabuhan. Sholat sunat dua rakaat. Mesjid
ini dibangun pada masa Raja Abdurrahman dan konon terbuat dari putih telur
dalam campuran pasir dan kapurnya. Mesjid
ini merupakan cagar budaya dan sangat terawat.
Mengelilingi pulau seluas 2x1 kilometer untuk melihat
situs situs sejarah bisa menggunakan becak motor, ojek atau rental sepeda motor
dengan tarif Rp 25 ribu/jam. Kami memilih berjalan kaki karena luas pulau ini
hanya dua kilometer persegi. Jalan yang bagus, rapi dan tidak ada mobil sangat
nyaman untuk berjalan kaki.
Teman saya sangat senang ketika bisa berziarah di
makam Raja Ali Haji, pahlawan nasional bidang bahasa. Buku karangan Raja Ali
Haji Kitab Pengetahuan Bahasa dan Bustan al-Katibin tentang tata bahasa Melayu merupakan
tapak dasar bahasa Indonesia. Karya agungnya yang terkenal hingga saat ini
adalah Gurindam Dua Belas.
Selain makam-makam keturunan raja, juga ada bekas
istana yang masih dilihat bangunannya yang utuh meski hanya di bagian depan.
Kemudian ada rumah tabib dan rumah hakim yang instaramable. Selain itu juga ada
gudang mesiu dan benteng bukit kursi yang menjadi pertahanan saat melawan Belanda.
Di benteng ini kami bisa melihat keindahan laut sekitar Kota Tanjungpinang.
pic from http://colours-indonesia.com |
Penat berkeliling kami singgah di sebuah kedai makan
yang menyediakan makanan khas laut. Ikan bakarnya menggugah selera dengan bumbu
khas, namun teman saya ketagihan Gonggong yang dicocol dengan sambal mangga.
Gonggong adalah siput laut yang memiliki cangkang
putih kekuningan, dagingnya kenyal saat digigit. Cara pengolahannya sangat
gampang, hanya direbus dengan air garam dan tambahan jahe untuk menghilangkan
amis dan kemudian bisa dicocol dengan aneka sambal sesuai selera seperti sambal
saos, sambal kacang, sambal mangga, sambal nenas dll
Mengeliling Pulau Penyengat bisa dilakukan dalam waktu
sehari saja. Tanpa pemandu pun wisatawan bisa berkeliling karena petunjuk arah
ke setiap situs sejarah dan objek wisata sangat jelas dan selalu ada di setiap
sudut jalan. Jika ingin bermalam di pulau ini juga ada penginapan yang berdiri
persis di depan Mesjid Sultan Riau dengan tarif mulai Rp 150 ribu permalam.
Vihara
Kota Tanjungpinang terdiri dari beragam etnis yang
hidup rukun berdampingan. Salah satunya adalah etnis Tionghoa yang sudah lama
menetap dan mempunyai banyak jejak sejarah sejak ratusan tahun lalu seperti
sejumlah vihara yang masih terawat sampai sekrang.
Vihara Bahtra Sasana terletak di pusat kota atau di
Jalan Merdeka. Masih terawat dan dijadikan sarana beribadah oleh umat Budha
sejak berdiri pada tahun 1857. Selain itu juga ada Vihara Beringin di Senggarang
yang masih digunakan. Untuk mencapai vihara ini kami menaiki pompong dari
Pelantar Dua.
Tidak hanya itu, sejumlah vihara yang sengaja dibangun
beberapa tahun lalu dengan luas dan arsitektur yang luar biasa juga terdapat di
kota ini. Vihara Avalokitesvara Graha terletak di kilometer atau batu 14 jalan
raya Tanjunguban adalah vihara terbesar se Asia Tenggara. Di sana terdapat
Patung Dewa Kuan Yin Phu Sha setinggi kurang lebih 16,8 meter dan dilapisi
emas.
Sedangkan Vihara Kstigarbha Bodhisatva di batu 14
jalan raya Kijang adalah vihara berarsitektur ala tiongkok dan selalu ramai
dikunjungi wisatawan. Vihara ini baru diresmikan sejak awal tahun 2017 ini
namun minat masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke sini sangat banyak
setiap hari dan hari libur khususnya yang mencapai ribuan.
Selain itu masih banyak vihara lainnya yang selain
menjadi tempat beribadah juga menjadi tujuan wisata masyarakat lokal dan luar
negeri, seperti Singapura yang sengaja datang untuk beribadah dan berziarah.
Kami hanya menyambangi tiga vihara tersebut
Peninggalan
Residen Belanda
Kota Tanjungpinang pernah menjadi tempat residen
Belanda, sehingga banyak peninggalan Belanda yang masih ada sampai sekarang.
Selain Gedung Daerah, ada Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman yang berada tidak
jauh dari tugu pensil. Kemudian juga ada Sekolah Bintan yang dulunya adalah
Gedung Dansa serta gedung penjara yang masih digunakan sampai sekarang. Selain
itu masih banyak bangunan lainnya yang masih terawat namun berubah fungsi.
Box
5 senses-taste
Gonggong
Gonggong adalah sejenis siput atau keong laut khas
Kepulauan Riau dan salah satunya banyak terdapat di Kota Tanjungpinang.
Cangkangnya berwarna putih kekuningan. Isinya kenyal dan rasanya lezat dan
membuat ketagihan bagi yang pertamakali memakannya.
Cara mengolahnya sangat gampang. Setelah dibersihkan
lalu direbus dengan air ditambah garam dan sedikit jahe untuk menghilangkan bau
amis. Kemudian dicocol dengan sambal. Bisa sambal saos, sambal kacang, sambal
mangga atau nenas.
Mencari Gonggong yang sudah siap dimakan biasanya
terdapat di tempat makan yang menyediakan makanan seafood yang tersebar di
banyak tempat di Kota Tanjungpinang . Biasanya wisatawan yang baru datang ke
kota ini selalu dikenalkan dengan Gonggong.
Tidak hanya dimakan langsung dicocol dengan sambal,
Gonggong juga ada dimasak menjadi pindang. Caranya Gonggong yang sudah direbus
dimasukan ke dalam kuah pindang yang segar dengan cita rasa asam dan gurih.
Namun masakan ini hanya terdiri di beberapa tempat saja dan itu juga dibuat jika
ada permintaan.
Daging gonggong mentah yang sudah dikeluarkan dari
cangkang juga ada dijual di sejumlah swalayan. Biasanya daging gonggong ini
bisa dimasak sambal atau dimasak gulai dan rendang.
Selain dimakan langsung, Gonggong juga sudah diolah
menjadi kerupuk dan menjadi salah satu oleh-oleh Kota Tanjungpinang.
5 sense- sight
Mesjid Sultan
Riau
Mesjid Sultan Riau atau ada yang menyebutnya mesjid
putih telur dibangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja
Abdurrahman tahun 1832. Mesjid ini dibangun konon dibangun dengan campuran
putih telur dengan kapur untuk memperkokoh struktur bangunan yang memang
terbukti masih kokoh berdiri hingga sekarang.
Bangunan utama mesjid ini berukuran 18x20 meter dan
ditopang oleh 4 buah tiang beton. Atapnya berbentuk kubah sebanyak 13 buah. Di
bagian samping depan kiri kanan terdapat bangunan yang disebut Rumah Sotoh.
Mesjid ini dicat warna kuning dan hijau yang identik
dengan warna simbol Islam dan Melayu. Setiap hari selalu ada wisatawan yang
berkunjung dan sholat di mesjid ini. Mereka datang dari berbagai daerah maupun
luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
5 Sense- Touch
Batik Gonggong
Batik Gonggong adalah hasil kreatifitas seorang
seniman Kota Tanjungpinang, Effiyar M Amin yang terinspirasi dari makanan khas
kota ini, Gonggong. Cangkang Gonggong menjadi inspirasinya dalam membuat
berbagai motif dasar batik yang dikreasikan dengan berbagai motif bunga,daun
dan ornamen lainnya.
Saat ini sudah puluhan motif Batik Gonggong yang
dipatenkan dan diproduksi menjadi batik yang menjadi salah satu oleh-oleh
Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Tanjungpinang. Harga Batik Gonggong ini
dimulai dari puluhan ribu hingga 400 ribu tergantung dari jenis bahan batiknya.
pic from http://colours-indonesia.com |
Foto-fotonya bagus, Mbak. Kayaknya gak cukup menikmati keindahan Tanjung Pinang kalau cuma semalam, ya. Cantik kotanya :)
BalasHapusWaaah.. Keren mbak, tulisannya masuk majalahnya Garuda.
BalasHapusBtw, aku pecinta kerang. Jadi sangat penasaran pengen nyobain gonggong.
Wuiii keren euy bisa masuk Colours! Selamat, ya.
BalasHapusAnyway, blm pernah ke Tanjung Pinang nih, jd bakal dibookmark deh artikelnya haha.
Ngomong2 soal putih telur, kalau ga salah jam Gadang di Bukittinggi juga demikian ya? Dibuat dr campuran putih telur juga? :)
Pengen banget ke Pulau Penyengat, mba. Banyak yang nulis eksotika pulau itu. Keren mba tulisannya dimuat di majalah Garuda :)
BalasHapusMantap ulasannya. Gak salah kalau lolos masuk majalah. Foto-fotonya juga bagus, enak dipandang.
BalasHapusDulu sempet punya keinginan pergi travelling gitu ke Pulau penyengat, sekarang malah lupa punya impian seperti itu. Hadeuhh...Dan keren banget tulisannya bisa masuk majalah, semakin orang banyak yang baca tulisannya
BalasHapusWaah...tulisan yang masuk majalah memang beda dari nulis blog yaa?
BalasHapusSukkaa..
semoga Uni Zara makin sukses. Terus nanti tularin aku yaa mbaa...aamiin.
Pantai, dan lau di Kepri rasanya bagus-bagus semua, ya. Jarang tiket pesawat promo sih kalo ke sana =(
BalasHapusHebay nih bisa masuk majalah Garuda Indonesia. Ah jadi ingat beberapa tahun lalu waktu tinggal di Indragiri Hilir, Riau. Ayahku kerja di sana sampai sekarang ini. Waktu itu, pernah belasan tahun lalu, aku ke Tanjungpinang. Itu gara2 guru SD aku sih yg cerita soal Pulau Penyengat. Akhirnya ya aku kesana juga. Ternyata ga nyangka, masih banyak pesona Tanjungpinang yang belum aku kunjungi. Bahkan waktu itu belum sempat juga beli Batik Gonggong. Tau juga enggak itu kayaknya. Ah, jadi ingin ke sana lagi.
BalasHapusTulisan yang sudah diterbitkan apapun bentuknya memang enak buat disimak, ya. Komplit. Apalagi dilengkapi foto-foto yang cakep. Langitnya itu, lho. Tiba-tiba pengen traveling, haha. Btw, Pulau Basing itu kayaknya ada horor-horonya, ya. Bekas pengasingan raja-raja, gitu. Waaaaa.
BalasHapusDari foto kelihatan kalau tempat2 di sana memang bagus mbk. Kerenlah pokoknya, pantas masuk majalah garuda, au suka dg foto di halaman 18 itu lho
BalasHapuswah selamat ya kak, ikut seneng liatnya, semoga kapan2 aku bisa kaya kamu tulisannya masuk majalah. amin.
BalasHapusWidih selamat ya masuk garuda indonesia majalan memang mantab banget nih tulisannya bisa masuk ke magazine bisa jadi motivasi nih buat penulis jalan jalan
BalasHapusKak, nggak papa nih kalo tulisan dari majalah ditulis ulang di sini? Udah bilang? Aku khawatir nggak boleh. Eh bergantung perjanjiannyan sih
BalasHapusFotonya cakep paraaaaaaaaaah
Tulisannya juga bikin gregetan, ndang pengen kesana jugaaaaaaak
Indonesia punyaaaaaa!
BalasHapusKeren bisa tembus majalah, kujuga ingin heu. Tapi beneran keren sih deskripsinya, foto-fotonya juga. Menggugah hasrat jalan-jalan kan jadinya :(
Nabung duluk nabung hhh~
Selamaaaat..
BalasHapuskeren banget, ih. Tulisan dan gambarnya juga bagus. jadi berasa diajak ke sana.
Sukses selalu Mbak.
BalasHapusFoto2nya bagus dan tulisannya asik. Bikin pengin main kesana. Enggak salah kalo Garuda memilih untuk diterbitkan di majalahnya. Selanjutnya ditunggu tulisannya di majalah maskapai2 lainnya. Hehehe
Waaah selamat ya mbak, tulisannya bisa mejeng di majalah Garuda. Satu kebanggaan tersendiri.
BalasHapusBtw fotonya kece iiih, jadi bikin mupeng mau ke sana
Waaah keren mbsk...
BalasHapusSelamat ya mbak, tulismannya bisa mejenh di majalah garuda. Prestasi.
Btw fotonya kece2 iih, bikin pengen nyebur lihat air
Selamat ya mbak, tulisannya masuk majalah Garuda.
BalasHapusBeberapa kali membaca tentang Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, sungguh indah. Moga2 bisa ke sana TFS udah berbagi ceritanya :D
Mantap.. Tembus Garuda. Semoga suatu saat dengan tulisan bisa naik garuda.
BalasHapusOh iya di pulau basing, apa masih ada penjara pengasingan disana?
Keren! Kalau mau kirim seperti ini berarti kombinasi skill foto dan tulisan kan ya. Jadi emang kalian ituh keren! Sesuatu yang gw ga bisa, kapan ya mau nyoba "serius"
BalasHapustanjung pinnag sebetulnya wisata paket lengkap tapi sayang kaya nggak maksimal pengembangannya
BalasHapusKece kak... menginspirasi yang lain untuk terus berkarya...
BalasHapusKeren uni udah tembuh inflight magazine Garuda. Semoga saya juga bisa :)
BalasHapus